1.Hakikat dan Pengertian Pelayanan Prima
Pada
hakikatnya, pelayanan prima adalah salah satu usaha yang dilakukan perusahaan
untuk melayani pembeli (pelanggan) dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat
memberikan kepuasan kepada pelanggan dan memenuhi kebutuhan serta keinginan
pelanggan, baik yang berupa produk barang atau jasa.
Pelayanan prima adalah
pelayanan terbaik yang diberikan perusahaan untuk memenuhi harapan dan
kebutuhan pelanggan, baik pelanggan didalam perusahaan maupun diluar
perusahaan.
Secara sederhana, pelayanan
prima (excellent service) dapat diartikan sebagai suatu pelayanan yang
terbaik dalam memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggan. Dengan kata lain,
pelayanan prima merupakan suatu pelayanan yang memenuhi standar kualitas. Pelayanan yang memenuhi standar kualitas
adalah suatu pelayanan yang sesuai dengan harapan dan kepuasan
pelanggan/masyarakat.
Dalam pelayanan prima
terdapat dua elemen yang saling berkaitan, yaitu pelayanan dan kualitas.
Kedua elemen tersebut sangat penting untuk diperhatikan oleh tenaga pelayanan
(penjual, pedagang, pelayan, atau salesman).
Konsep pelayanan prima dapat
diterapkan pada berbagai organisasi, instansi, pemerintah, ataupun perusahaan
bisnis.
Perlu diketahui bahwa
kemajuan yang dicapai oleh suatu negara tercermin dari satandar pelayanan yang
diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Negara-negara yang tergolong miskin pada
umumnya kualitas pelayanan yang diberikan di bawah standar minimal. Pada
negara-negara berkembang kualitas pelayanan telah memenuhi standar minimal.
Sedangkan di negara-negara maju kualitas pelayanan terhadap rakyatnya di atas
standar minimal.
Terdapat beberapa definisi
tentang kualitas pelayanan yang dikemukakan oleh para ahli.
Dan
dari sejumlah definisi tersebut terdapat beberapa kesamaan, yaitu:
1.
kualitas
merupakan usaha untuk memenuhi harapan pelanggan
2.
kualitas
merupakan kondisi mutu yang setiap saat mengalami perubahan
3.
kualitas itu
mencakup proses, produk, barang, jasa, manusia, dan lingkungan
4.
kualitas merupakan
suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses,
dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Vincent Gespersz
menyatakan bahwa kualitas pelayanan meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut:
a. Ketepatan waktu pelayanan berkaitan dengan waktu
tunggu dan proses.
b. Kualitas pelayanan berkaitan dengan akurasi atau
kepetatan pelayanan.
c.
Kualitas
pelayanan berkaitan dengan kesopanan dan keramahan pelaku bisnis.
d. Kualitas pelayanan berkaitan dengan tanggung jawab
dalam penanganan keluhan pelanggan.
e.
Kualitas
pelayanan berkaitan dengan sedikit banyaknya petugas yang melayani serta
fasilitas pendukung lainnya.
f.
Kualitas
pelayanan berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir,
ketersediaan informasi, dan petunujuk/panduan lainnya.
g.
Kualitas
pelayanan berhubungan dengan kondisi lingkungan, kebersihan, ruang tunggu,
fasilitas musik, AC, alat komunikasi, dan lain-lain.
2.
Sejarah Perkembangan Pelayanan Prima
Menurut
Garvin dalam bukunya, Managing Quality, menyebutkan bahwa
kualitas sebagai suatu konsep telah lama dikenal orang, akan tetapi
kemunculannya sebagai fungsi manajemen terjadi belum lama ini.
Menurutnya,
bahwa konsep dan pendekatan kualitas mengalami tahap-tahap perkembangan, antara
lain pendekatan inspeksi, pengendalian kualitas statistikal, jaminan kualitas,
dan manajemen kualitas strategic.
Tahapan
perkembangan kualitas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pendekatan inspeksi
Dalam era ini inspeksi atau pengawasan
terhadap produk dilakukan secara langsung dan dibandingkan dengan standar yang
seragam. Sejak awal abad ke-20 kegiatan inspeksi dikaitkan dengan pengendalian
kualitas. Pada waktu itu kualitas dipandang sebagai fungsi manajemen
tersendiri.
2. Pendekatan statistikal
Gerakan
penilaian kualitas yang menggunakan pendekatan ilmiah untuk pertama kalinya
berlangsung pada tahun 1931, yaitu dengan dipublikasikannya hasil karya W.A.
Shewhart, seorang peneliti kualitas dari BellTelephone Laboratories. Ia menyebutkan bahwa variabilitas merupakan
suatu kenyataan dalam industri dan hal ini dapat dipahami dengan menggunakan
prinsip probabilitas dan statistik.
Dua rekan Shewart mengembangkan teknik statistik
untuk melakukan sampling sejumlah item yang terbatas di setiap kelompok
produksi. Sasarannya adalah untuk melakukan trade-off antara biaya tinggi
akibat inspeksi 100% dengan resiko dari salah satu keadaan berikut:
·
Menerima suatu kelompok produk yang sesungguhnya terdiri dari item-item
yang rusak dalam presentasi tinggi, dan
·
Menolak suatu kelompok produk yang sesungguhnya memenuhi standar
kualitas.
3. Pendekatan jaminan kualitas
Dalam era ini terdapat pengembangan empat konsep baru
yang penting, yaitu
a.
Biaya kualitas
b.
Pengendalian
kualitas terpadu (totalquality control),
c.
Reliability
engineering, dan
d.
Zero defect.
a. Biaya kualitas adalah istilah yang diciptakan oleh
Yoseph Juran untuk menjawab pertanyaan “seberapa besar kualitas dirasa cukup?”.
Dan Menurutnya, biaya untuk mencapai tingkat kualitas tertentu dapat dibagi
menjadi biaya yang dapat dihindari dan
biaya yang tak dapat dihindari.
·
Biaya yang tak
dapat dihindari dikaitkan dengan inspeksi dan pengendalian kualitas yang
dirancang untuk mencegah terjadinya kerusakan (defects).
·
Biaya yang dapat
dihindari adalah biaya kegagalan produk yang meliputi bahan baku yang rusak,
jam kerja yang digunakan untuk perbaikan, pemrosesan keluhan, dan kerugian
finansial akibat pelanggan yang kecewa.
Implikasi
pandangan Juran ini adalah bahwa pengeluaran tambahan untuk perbaikan kualitas
dapat dijustifikasi selama biaya kegagalan masih tinggi.
b. Total Quality Control (TQC) merupakan hasil pemikiran Armand
Feigenbaum yang dikemukakannya pada tahun 1965. Menurut pendapatnya bahwa
pengendalian dimulai dari perancangan produk dan berakhir jika produk telah
sampai ke tangan pelanggan yang puas. Prinsip utamanya adalah quality is every body’s job.
Ia
menyatakan bahwa kegiatan kualitas dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori,
yaitu:
·
Pengendalian
rancangan baru
·
Pengendalian
bahan baku yang baru datang
·
Pengendalian
produk
Sistem
kualitas saat ini juga memasukkan pengembangan produk baru, seleksi pemasok,
dan pelayanan pelanggan.
c.
Reability
engineering muncul pada tahun
1950-an, yang didorong oleh kebutuhan Angkatan Bersenjata Amerika untuk
memiliki peralatan elektronik dan senjata udara yang dapat diandalkan, bekerja
dengan baik, serta menghindari kebutuhan untuk penggantian suku cadang yang
mahal.
d. Zero defects pertama kali dimunculkan oleh Martin
Company pada tahun 1961-1962. Konsep ini timbul karena kebutuhan pelanggan
militer akan produk yang tidak hanya bekerja baik pada saat pertama kali,
tetapi juga diserahkan tepat waktu.
Konsep
zero defects lebih dipusatkan pada harapan manajemen dan hubungan antar pribadi
dari pada keterampilan rekayasa.
Tujuan
utamanya adalah mengharapkan kesempurnaan pada saat pertama dan fokusnya pada
identifikasi masalah pada sumbernya dengan perhatian khusus untuk
mengoreksi penyebab umum kesalahan
karyawan, seperti kurang pengetahuan, kurangya fasilitas yang tepat,
kurangnya perhatian, kesadaran, dan motivasi karyawan.
Menurut konsep zero defects
kesalahan- kesalahan yang disebabkan oleh :
·
Kurangnya pengetahuan dapat diatasi dengan menggunakan teknik-teknik
pelatihan modern.
·
Kurangnya fasilitas yang memadai dapat diatasi dengan survey pabrik dan
peralatan secara periodic.
·
kurangnya perhatian merupakan kesalahan yang paling sulit untuk dideteksi.
Olah karena itu, perlu
diatasi dengan program zero defects.
Era ketiga konsep manajemen kualitas ini menendai
titik balik yang nenentukan.
Konsep ini menaruh perhatian utama pada pelanggan
dan inisiatif karyawan sebagai masukan penting bagi program peningkatan
kualitas. Gerakan manajemen kualitas dengan penekanan pada pelanggan muncul
hampir bersamaan dengan pemikiran dan konsep baru tentang manajemen sumber daya
manusia, konsep ini mendorong manajer (pimpinan) untuk menawarkan wewenang yang
lebih besar kepada karyawan, seperti strategi zero defects yang berfokus pada
motivasi dan inisiatif karyawan.
4. Pendekatan manajemen kualitas strategis
Untuk
memberikan gambaran tentang pendekatan manajemen kualitas strategis, berikut
ini akan dikemukan pengalaman-pengalaman perusahaan Jepang dan perusahaan
Amerika dan Eropa.
a. Pengalaman perusahaan Jepang
Beberapa inovasi dilakukan oleh para ahli Jepang,
seperti Diagram Sebab-Akibat hasil pemikiran Kooru Ishikawa (1952),
gugus kendali mutu (1962), company wide quality control (1968), dan quality
function deployment (1972).
Gugus
kendali mutu terdiri dari kelompok-kelompok kecil karyawan yang dilatih
keterampilan dalam menangani kualitas. Mereka didorong untuk mengambil
inisiatif dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta mengusulkan
perbaikan pada manajemen.
Companywide
quality control pada dasarnya merupakan perluasan dari ide TQC yang dikemukakan
oleh Feingenbaum. Adapun komponennya adalah sebagai berikut.
·
Keterlibatan
semua fungsi dan bidang dalam peningkatan kualitas pelayanan.
·
Keterlibatan
semua level dan manajemen puncak sampai karyawan front-line dalam memperhatikan
kualitas pelayanan.
·
Filosofi
perbaikan kualitas secara berkesinambungan.
·
Orientasi pada
pelanggan karena kualitas ditentukan dari sudut pandang pelanggan atau
masyarakat.
b. Pengalaman perusahaan Amerika dan Eropa
Menjelang
awal tahun 1980-an perusahaan-perusahaan dikawasan Amerika dan Eropa mulai
menyadari pentingnya peranan strategis kualitas yang telah diadopsi jepang selama
lebih dari satu decade sebelumnya.
Kesadaran ini muncul terutama karena
tekanan persaingan dari produk industri Jepang yang memiliki keunggulan dalam
kualitas. Sedikitnya ada tiga buku
yang mendapat perhatian dan minat ahli manajemen terhadap kualitas selama
decade 1980-an. Yang pertama adalah buku
yang berjudul Quality is Free
(1979) hasil karya PhilipCrosby yang menyatakan bahwa kualitas yang
sempurna mencakup dua hal, yaitu tepat secara teknis dan layak secara ekonomis.
Buku
yang kedua adalah In Search of Excellence (1982) hasil karya Tom
Peters dan Robert Waterman yang menyoroti perusahaan-perusahaan Amerika
yang sukses dan mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilannya.
Buku
yang ketiga adalah Managing Quality (1988) karangan David Garvin yang memberikan tinjauan terhadap evolusi
sejarah kualitas, sehingga memberikan pemahaman menyeluruh mengenai mengenai
kualitas dari perspektif filosofi ekonomi dan pemasaran dengan menyajikan
contoh-contoh penting dari industri yang berbeda.
5. Obsesi kualitas menyeluruh
Selain
keempat era yang dikemukakan oleh Garvin tersebut, Christopher Lovelock
menambahkan era kelima, yaitu obsesi kualitas menyeluruh (Total Quality Obsession). Tahun 1987
dipandang sebagai awal dari era kualitas kelima ini.
Pada bulan Agustus 1987 Konggres Amerika memberikan
penghargaan Malcolm Balrige National Award kepada kedua perusahaan pada setiap
kategori: fanufactur, jasa dan usaha kecil. Sasaran utama penghargaan tersebut
adalah untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kualitas.
Hal yang mendasari era kelima ini adalah konsep
kualitas absolut dan zero defect yang juga disebut kualitas (total quality).
Jalan satu-satunya untuk mencapai keabsolutan tersebut adalah Total Quality
Control (TQC) yang didorong oleh Total Quality Management (TQM).
3. Tujuan
Pelayanan Prima
Tujuan pelayanan prima antara lain sebagai
berikut:
1.
Untuk memberikan pelayanan yang bermutu tinggi kepada
pelanggan.
2.
Untuk menimbulkan keputusan dari pihak pelanggan agar
segera membeli barang/jasa yang ditawarkan pada saat itu juga.
3.
Untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap
pelanggan terhadap barang/jasa yang ditawarkan.
4.
Untuk menghindari terjadinya tuntutan-tuntutan yang tidak
perlu dikemudian hari terhadap produsen.
5.
Untuk menciptakan kepercayaan dan kepuasan kepada
pelanggan.
6.
Untuk menjaga agar pelanggan merasa diperhatikan segala
kebutuhannya.
7.
Untuk mempertahankan pelanggan.
Dari tujuan pelayanan prima tersebut diatas Sebab
tujuan utama dari pelayanan prima adalah untuk memenuhi kepuasan pelanggan.
4. Fungsi Pelayanan Prima
Pelayanan prima berfungsi sebagai berikut.
1. Melayani pelanggan dengan
ramah, tepat, dan cepat.
2. Menciptakan suasana agar
pelanggan merasa dipentingkan.
3. Menempatkan pelanggan
sebagai mitra usaha.
4. Menciptakan pangsa pasar
yang baik terhadap produk/jasa.
5. Memenangkan persaingan
pasar.
6. Memuaskan pelanggan, agar
mau berbisnis lagi dengan perusahaan.
7. Memberikan keuntungan
pada perusahaan.
5. Pengertian Pelanggan
Dalam pengertian sehari-hari pelanggan adalah
orang-orang yang kegiatannya membeli dan menggunakan suatu produk, baik barang
maupun jasa, secara terus menerus. Pelanggan atau pemakai suatu produk adalah
orang-orang yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan
perusahaan-perusahaan bisnis. Adapun pihak-pihak yang berhubungan dan
bernegosiasi dengan perusahaan-perusahaan bisnis sebelum tahap menghasilkan
produk dinamakan pemasok.
Dilihat dari segi perbaikan kualitas, definisi pelanggan adalah setiap orang yang menuntut
pemberian jasa (perusahaan) untuk memenuhi suatu standar kualitas pelayanan
tertentu, sehingga dapat memberi pengaruh pada performansi (performance)
pemberi jasa (perusahaan) tersebut.
Dengan kata lain, pelanggan
adalah orang-orang atau pembeli yang tidak tergantung pada suatu produk, tetapi
produk yang tergantung pada orang tersebut. Oleh karena pelanggan ini
pembeli atau pengguna suatu produk maka harus diberi kepuasan.
Secara garis besarnya terdapat tiga jenis pelanggan,
yaitu pelanggan internal, pelanggan perantara, dan pelanggan eksternal. Ketiga
jenis pelanggan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pelanggan
internal
Pelanggan
internal (internal costumer), adalah orang-orang atau pengguna produk yang
berada di dalam perusahaan dan memiliki pengaruh terhadap maju mundurnya
perusahaan.
Berdasarkan
keanggotaannya, pelanggan internal ada dua macam, yaitu pelanggan internal
organisasi dan pelanggan internal pemerintah.
1. Pelanggan internal organisasi Adalah setiap orang yang terkena dampak produk dan
merupakan anggoata dari organisasi yang menghasilkan produk tersebut.
2. Pelanggan internal pemerintah Adalah setiap orang yang terkena dampak produk dan
bukan anggota organisasi penghasil produk, tetapi masih dalam lingkungan atau
instansi pemerintah.
b. Pelanggan
perantara
Pelanggan
perantara (intermediate costumer) adalah setiap orang yang berperan
sebagai perantara produk, bukan sebagai pemakai. Komponen distributor, seperti
agen-agen Koran yang memasarkan Koran, atau toko-toko buku merupakan contoh
pelanggan perantara.
Misalnya
Penerbit Armico Bandung memerima pesanan buku dari toko buku untuk dijual
kepada siswa SMK maka dalam hal ini Penerbit Armikco bertindak sebagai pemasok,
toko buku sebagai pelanggan perantara, dan siswa SMK sebagai pelanggan akhir
atau pelanggan nyata (real costumer).
c. Pelanggan eksternal
Pelanggan
eksternal (external costumer), adalah setiap orang atau kelompok orang pengguna
suatu produk (barang/jasa) yang dihasilkan oleh perusahaan bisnis. Pelanggan
eksternal inilah yang berperan sebagai pelanggan nyata atau pelanggan akhir.
( sumber : http://prinsip-bekerjasama.blogspot.com/2012/01/konsep-konsep-pelayanan-prima.html)